Ide Judul Skripsi: Mitigasi Bencana Alam Gunung Berapi dengan Pengolahan Citra
Daftar Isi
merlindawibowo.com – Mitigasi bencana alam gunung berapi adalah serangkaian langkah proaktif yang diambil untuk mengurangi risiko, kerusakan, dan dampak negatif yang disebabkan oleh letusan gunung berapi. Mitigasi bencana alam ini melakukan pemetaan wilayah rawan bencana gunung berapi untuk mengidentifikasi daerah yang rentan terhadap letusan. Ini memungkinkan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengambil tindakan pencegahan yang sesuai.
Studi pertama, yang berjudul Anomali Spatio-Temporal pada Suhu Kecerahan Permukaan Sebelum Letusan Gunungapi yang Dideteksi oleh Sensor Inframerah Termal Landsat-8 (Studi Kasus: Gunungapi Karangetang), menggunakan metode deteksi Anomali Spatio-Temporal pada Suhu Kecerahan Permukaan dengan menggunakan Landsat-8 TIRS. Penelitian ini mengungkapkan peningkatan suhu kecerahan di kawah Gunungapi Karangetang selama periode letusan 2018-2019, yang bermanfaat untuk menentukan pusat letusan.
Penelitian kedua, Early Analysis of Landsat-8 Thermal Infrared Sensor Imagery of Volcanic Activity oleh Matthew Blackett, menunjukkan potensi sensor TIRS dalam memberikan observasi vulkanik yang rinci, akurat, dan bermanfaat di masa depan, sebanding dengan pengamatan termal Spektroradiometer Pencitraan Resolusi Sedang oleh NASA Earth Observing System (EOS) pada waktu yang sama.
Studi ketiga, Korelasi Peningkatan Temperatur Permukaan Tanah dan Aktivitas Seismik di Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018, membandingkan data sekunder Landsat 8 dengan pemantauan seismik untuk memahami aktivitas vulkanik. Temuan menunjukkan bahwa temperatur permukaan tanah dapat digunakan sebagai cara tambahan untuk memantau aktivitas gunungapi, khususnya di Indonesia.
Penelitian keempat, yang berjudul Pemantauan Aktivitas Termal Gunung Berapi Aktif Menggunakan Citra Sensor Landsat 8/OLI-TIRS: Studi Kasus di Area Gunungapi Aso di Barat Daya Jepang, menunjukkan peningkatan aktivitas termal selama periode studi. Ini menunjukkan bahwa penggunaan citra sensor Landsat 8 adalah teknik yang efisien untuk mengeksplorasi dan memantau aktivitas gunung berapi.
Penelitian kelima, yang membahas Kombinasi Suhu Permukaan Tanah dan Penginderaan Jauh Termal untuk Karakterisasi Sumber Daya Panas Bumi di Hokkaido, Jepang Utara, menyoroti kombinasi antara TIR (Penginderaan Jauh Inframerah Termal) dan 3D dari suhu subsurface dan suhu permukaan tanah sebagai pendekatan yang efisien untuk eksplorasi sumber daya panas bumi.
Studi keenam, Surface temperature changes of the crater of Agung Volcano from Landsat-8 TIRS during 2017-2018 eruption, menggunakan metode Landsat 8 TIRS untuk mendeteksi perubahan suhu permukaan. Hasilnya menunjukkan peningkatan suhu permukaan yang signifikan selama periode letusan, menunjukkan potensi untuk menggunakan satelit ini sebagai alat pemantauan erupsi.
Penelitian ketujuh, On-board Volcanic Eruption Detection through CNNs and Satellite Multispectral Imagery, menggunakan Deep Learning CNN, Sentinel-2, dan Landsat-7 untuk mendeteksi erupsi gunung berapi. Ini menghasilkan alur kerja untuk mengembangkan model kecerdasan buatan yang dapat memberikan peringatan dini dari satelit, mengurangi waktu analisis dan mempercepat tanggapan terhadap erupsi.
Penelitian kedelapan, Classification of volcanic ash particles using a convolutional neural network and probability, menunjukkan bahwa CNN dapat mengenali partikel abu vulkanik dengan akurasi lebih dari 90%.
Penelitian kesembilan, Convolutional Neural Networks for Real-Time Face Recognition, menggunakan dataset gambar wajah untuk pengenalan wajah secara real-time. Hasilnya menunjukkan kinerja pengenalan wajah dengan akurasi rata-rata lebih dari 89%.
Semua penelitian ini menyoroti pentingnya penggunaan teknologi pemantauan jauh, seperti citra satelit Landsat 8 dan metode deep learning seperti CNN, untuk memahami dan memprediksi fenomena geologis seperti erupsi gunung berapi dan untuk aplikasi lainnya seperti pengenalan wajah secara real-time.
Butuh konsultasi untuk penyusunan SKRIPSI dan JURNAL?
Silahkan jangan ragu untuk hubungi kami.
Mitigasi Bencana Alam
Mitigasi adalah serangkaian usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari bencana di suatu wilayah atau komunitas. Menurut Teodorescu dkk. (2014), upaya ini mencakup perencanaan, pencegahan, prediksi, tanggap darurat, dan pemantauan untuk mengurangi akibat bencana. Tujuannya adalah untuk meminimalkan risiko bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Mitigasi dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti penataan wilayah, regulasi pembangunan, infrastruktur yang kuat, serta edukasi, pelatihan, dan penyuluhan kepada masyarakat.
Pada saat terjadi krisis, langkah-langkah seperti pemberian peringatan dini, peningkatan komunikasi, penyusunan rencana tanggap darurat, dan evaluasi situasi kritis perlu segera diambil. Dalam mitigasi bencana akibat letusan Gunung Merapi, terdapat empat tingkatan peringatan dini: Aktif Normal, Waspada, Siaga, dan Awas. Penyebaran informasi dilakukan baik saat kondisi normal maupun saat status meningkat menjadi siaga, dengan tujuan untuk menjaga kesiapan semua pihak dalam menghadapi aktivitas Gunung Merapi.
Program Wajib Latih Penanggulangan Bersama (WLPB) juga menjadi bagian dari upaya mitigasi. Program ini bertujuan untuk membentuk budaya siaga bencana di kalangan masyarakat, dengan fokus pada pengetahuan akan potensi ancaman bencana dan kesadaran akan risikonya. Sasaran dari WLPB adalah penduduk usia 17-50 tahun yang tinggal di daerah rawan bencana.
Mitigasi bencana adalah serangkaian tindakan yang diambil sebelum, selama, dan setelah terjadinya bencana alam untuk mengurangi dampak negatifnya. Ini mencakup berbagai strategi dan langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi risiko, melindungi kehidupan manusia, serta mengurangi kerusakan fisik, ekonomi, dan lingkungan.
Langkah-langkah mitigasi bencana meliputi pemetaan risiko, pengurangan kerentanan, peningkatan kesadaran masyarakat, perencanaan tanggap darurat, dan pembangunan infrastruktur yang tahan bencana. Tujuan utama mitigasi bencana adalah untuk meningkatkan kesiapsiagaan, memperkuat ketahanan komunitas, dan meminimalkan kerugian yang disebabkan oleh bencana alam.
Mitigasi bencana alam meningkatkan sistem pengawasan dan pemantauan gunung berapi dengan menggunakan teknologi canggih seperti sensor seismik, penginderaan jauh, dan jaringan pengamatan visual. Hal ini memungkinkan deteksi dini aktivitas vulkanik yang tidak biasa, sehingga memberi waktu bagi evakuasi dan persiapan lebih lanjut.
Selain itu, mitigasi bencana membuat rencana evakuasi yang terperinci dan merinci jalur evakuasi serta lokasi tempat perlindungan bagi penduduk yang terkena dampak. Pelatihan reguler dan penyuluhan kepada masyarakat tentang prosedur evakuasi juga penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Mitigasi bencana juga dapat membangun infrastruktur yang tahan terhadap bencana, seperti tanggul banjir lahar dingin, jaringan peringatan dini, dan sistem drainase yang efektif untuk mengurangi risiko kerusakan fisik dan ekonomi.
Mitigasi bencana ini memberikan informasi tentang bahaya gunung berapi, tanda-tanda peringatan, dan langkah-langkah yang harus diambil dalam situasi darurat kepada masyarakat setempat. Pendidikan dan kesadaran masyarakat dapat meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko korban jiwa. Mendorong kerjasama antara lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi internasional untuk meningkatkan kapasitas mitigasi dan tanggap darurat gunung berapi. Ini termasuk pertukaran informasi, sumber daya, dan bantuan dalam situasi darurat.
Mitigasi bencana alam ini melakukan evaluasi berkala terhadap rencana mitigasi dan respons bencana gunung berapi, serta melakukan pembaruan berdasarkan pembelajaran dari pengalaman masa lalu dan perkembangan teknologi baru. Menginvestasikan dalam penelitian dan pengembangan teknologi terbaru untuk meningkatkan pemahaman tentang perilaku gunung berapi dan meningkatkan sistem peringatan dini. Ini membantu meningkatkan efektivitas mitigasi dan tanggap bencana.
Gunung Berapi
Gunung berapi adalah salah satu formasi geologi di permukaan Bumi yang memiliki ciri khas, terbentuk akibat dari aktivitas vulkanisme atau pergerakan magma dari dalam Bumi ke permukaan, baik melalui proses eksplosif maupun efusif. Naiknya magma ke permukaan terjadi karena peristiwa subduksi antara dua lempeng tektonik yang menyebabkan melelehnya batuan di kerak Bumi, sehingga magma bergerak ke permukaan karena memiliki massa jenis yang lebih rendah.
Secara geologi, Indonesia terletak di persilangan tiga lempeng tektonik besar: Lempeng Eurasia, Lempeng India-Australia, dan Lempeng Pasifik. Daerah pertemuan antara lempeng-lempeng tersebut termasuk dalam jalur vulkanik aktif, yang meliputi gunungapi di pulau Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara, terbentuk karena gesekan Lempeng India–Australia yang menyuburkan di bawah Lempeng Eurasia.
Gunung api aktif di Indonesia dibagi menjadi tiga tipe, yaitu Tipe A dengan 76 gunungapi yang telah meletus sejak tahun 1600, Tipe B dengan 30 gunungapi yang meletus sebelum tahun 1600, dan Tipe C dengan 21 gunungapi yang tidak memiliki catatan letusan namun masih menunjukkan tanda-tanda aktivitas vulkanik, seperti solfatara atau fumarole. Dari total 127 gunungapi tersebut, hanya 69 gunungapi aktif yang secara rutin dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Mitigasi bencana alam gunung berapi penting karena gunungapi merupakan ancaman potensial yang dapat mengakibatkan dampak serius bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Berikut adalah beberapa alasan mengapa mitigasi bencana alam gunung berapi diperlukan:
Perlindungan Nyawa dan Harta Benda: Letusan gunung berapi dapat mengakibatkan korban jiwa dan kerugian materiil yang besar. Dengan melakukan mitigasi, seperti evakuasi dini dan pengaturan zona-zona bahaya, dapat mengurangi risiko cedera dan kerusakan harta benda.
Peningkatan Kesadaran dan Persiapan: Melalui program mitigasi, masyarakat dapat diberi pemahaman tentang bahaya yang mungkin timbul dari aktivitas gunung berapi. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran akan risiko serta mempersiapkan langkah-langkah yang harus diambil dalam situasi darurat.
Pengurangan Dampak Lingkungan: Letusan gunung berapi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang luas, termasuk lahan pertanian, hutan, dan ekosistem lainnya. Dengan melakukan mitigasi, dapat diambil langkah-langkah untuk melindungi lingkungan alam dari dampak yang merusak.
Pertahanan Infrastruktur dan Ekonomi: Infrastruktur seperti jalan raya, bangunan, dan fasilitas penting lainnya dapat rusak parah akibat letusan gunung berapi. Dengan melakukan mitigasi, seperti membangun struktur pertahanan atau mengatur rencana evakuasi, dapat mengurangi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan infrastruktur.
Pengurangan Kekacauan Sosial: Letusan gunung berapi dapat menyebabkan kekacauan sosial dan ekonomi di masyarakat, seperti kekurangan pasokan makanan dan air bersih, serta gangguan pada transportasi dan kegiatan ekonomi. Melalui mitigasi, dapat diambil langkah-langkah untuk meminimalkan gangguan sosial yang terjadi dan mempercepat pemulihan pasca-bencana.
Dengan demikian, mitigasi bencana alam gunung berapi menjadi sangat penting untuk melindungi kehidupan manusia, lingkungan, dan aset ekonomi dari potensi ancaman dan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas gunung berapi.
Pengolahan Citra
Citra Satelit dalam Mitigasi Bencana Alam
Satelit penginderaan jauh adalah teknologi yang memungkinkan pengamatan fenomena di Bumi dengan menggunakan instrumen untuk mengukur energi elektromagnetik tanpa harus berinteraksi fisik langsung dengan objek yang diamati. Dalam konteks manajemen bencana, satelit penginderaan jauh berperan penting dalam menyediakan informasi untuk berbagai tahapan, termasuk pengkajian, perencanaan, mitigasi, peringatan dini, pengukuran dampak, dan komunikasi darurat.
Data geospasial yang dihasilkan oleh satelit ini sangat berharga dalam upaya mitigasi bencana alam dan menjadi hasil akhir dari penggunaan teknologi penginderaan jauh. Beberapa contoh satelit dengan resolusi tinggi yang digunakan dalam mitigasi bencana termasuk WorldView, GeoEye, QuickBird, IKONOS, SPOT, Landsat, ALOS, Cartosat, dan satelit hujan.
Lansat 8
Landsat 8 mulai dioperasikan sebagai bagian dari Landsat Data Continuity Mission (LDCM) pada 11 April 2013, hasil dari kerja sama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan US Geological Survey (USGS). Satelit ini dilengkapi dengan dua sensor observasi bumi, yaitu Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). TIRS berguna untuk mengukur suhu kecerahan permukaan dalam dua pita spektral termal dengan resolusi spasial 100 meter.
Teknologi sensor inframerah optik telah digunakan secara luas untuk memantau aktivitas gunung berapi global. Selain itu, pengambilan gambar oleh sensor Landsat dilakukan secara push-broom, yang membantu mengurangi rasio sinyal-ke-noise dan memiliki rentang pita dinamis yang lebih besar, yang kemudian digabungkan dengan gambar OLI untuk membentuk gambar terdaftar.
Proses pengolahan data tingkat Landsat 8 TIRS band 10 mencakup kalibrasi top-of-atmosphere (TOA), yang melibatkan konversi Digital Numbers (DNs) dari kalibrasi ke unit absolut dari radiasi sensor spektral dan ke suhu kecerahan (BT).
Brightness Temperature (BT)
Parameter Brightness Temperature dipilih untuk penelitian ini karena mengukur radiasi dari benda-benda yang memancarkan panas tinggi, terutama bahan hasil proses vulkanisme seperti lava pijar yang suhunya dapat mencapai 1000ºC. Secara prinsip, variasi Land Surface Thermal (LST) di suatu lokasi dapat direpresentasikan oleh parameter BT. Namun, nilai LST dipengaruhi oleh radiasi yang diterima oleh sensor dari benda, emisivitas permukaan benda (LSE), dan kondisi atmosfer (Atmospheric Transmittances) saat akuisisi data. Oleh karena itu, analisis difokuskan pada tren termal temporal daripada nilai absolut LST.
Algoritma Deep Learning untuk Pengolahan Citra
Deep learning adalah suatu metode yang menggunakan jaringan syaraf tiruan (artificial neural network) dengan lapisan-lapisan yang dalam (multi-layer), mirip dengan kerja otak manusia di mana neuron-neuron saling terhubung dan membentuk jaringan yang kompleks. Beberapa algoritma yang termasuk dalam deep learning meliputi Convolutional Network (CNN), Restricted Boltzmann Machine (RBM), Deep Belief Networks (DBN), dan Stacked Autoencoders. Deep learning merupakan bagian dari machine learning yang terkenal karena kemampuannya dalam memodelkan berbagai data kompleks, seperti citra dan suara. CNN merupakan salah satu metode yang menghasilkan kinerja yang signifikan dalam pengenalan citra.
Mitigasi bencana alam gunung berapi dengan menggunakan deep learning melibatkan penggunaan teknologi untuk memprediksi, memantau, dan merespons potensi letusan gunung berapi dengan lebih cepat dan efektif. Deep learning dapat digunakan untuk menganalisis data seismik, termal, dan geospasial guna memprediksi kemungkinan letusan gunung berapi. Model deep learning dapat dilatih menggunakan data historis dan sensor-sensor yang terpasang di sekitar gunung berapi untuk mengidentifikasi pola-pola yang mengarah pada letusan.
Deep learning, khususnya Convolutional Neural Networks (CNN), dapat digunakan untuk menganalisis citra satelit guna memantau aktivitas vulkanik, seperti perubahan suhu permukaan atau pola awan panas. Hal ini memungkinkan deteksi dini terhadap anomali yang dapat mengindikasikan potensi letusan.
Deep learning dapat digunakan untuk mengembangkan sistem peringatan dini yang lebih akurat dan responsif. Dengan memanfaatkan data dari berbagai sensor dan citra satelit, model deep learning dapat mengidentifikasi tanda-tanda awal letusan dan memberikan peringatan kepada masyarakat lebih cepat.
Deep learning dapat digunakan untuk menganalisis dampak letusan gunung berapi pada lingkungan sekitar. Model-model deep learning dapat membantu dalam memetakan daerah yang rentan terhadap aliran piroklastik, lahar, atau banjir lava, sehingga memungkinkan penyusunan rencana mitigasi yang lebih efektif.
Deep learning juga dapat digunakan dalam manajemen krisis selama atau setelah letusan gunung berapi terjadi. Sistem-sistem deep learning dapat membantu dalam analisis data real-time dan pengambilan keputusan yang cepat untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi infrastruktur.
Dengan memanfaatkan kemampuan deep learning dalam memproses dan menganalisis data yang besar dan kompleks, mitigasi bencana alam gunung berapi dapat menjadi lebih efektif dan responsif terhadap ancaman yang dihadapi oleh masyarakat.
CNN
Convolutional Neural Network (CNN) adalah pengembangan dari Multilayer Perceptron (MLP) yang dirancang khusus untuk mengolah data berbentuk dua dimensi. Hal ini disebabkan karena MLP tidak mempertahankan informasi spasial dari data citra dan menghasilkan citra yang kurang baik karena setiap piksel dianggap sebagai fitur independen. CNN termasuk dalam kategori Deep Neural Network karena memiliki kedalaman jaringan yang besar dan sering digunakan dalam pemrosesan data citra.
Keunggulan CNN terletak pada kemampuannya dalam mengidentifikasi citra karena dapat meniru sistem pengenalan citra pada korteks visual manusia, sehingga mampu mengolah data citra dengan baik. CNN terdiri dari neuron-neuron yang memiliki bobot (weight), bias, dan fungsi aktivasi.
Tensorflow
TensorFlow adalah sebuah framework yang dikembangkan oleh Google dan ditulis menggunakan bahasa pemrograman Python. Framework ini dirancang untuk melakukan pembelajaran mesin pada sistem yang besar. Salah satu keunggulannya adalah kemampuannya untuk mendeteksi objek dalam gambar secara real-time dan mengoptimalkan penggunaan kecepatan dan memori pada sistem, sehingga memungkinkan pengembang untuk melakukan modifikasi.
TensorFlow Object Detection API merupakan salah satu paket yang disediakan oleh TensorFlow yang sering digunakan dalam proses deteksi objek. TensorFlow juga menyediakan fitur yang memungkinkan pengguna untuk melatih model menggunakan Central Processing Unit (CPU) atau Graphic Processing Unit (GPU).
Mitigasi bencana alam gunung berapi dengan deep learning untuk pengolahan citra melibatkan penggunaan teknologi deep learning untuk menganalisis dan memproses citra satelit guna mendeteksi perubahan aktivitas gunung berapi dengan lebih cepat dan akurat. Berikut adalah beberapa cara di mana deep learning dapat digunakan dalam mitigasi bencana alam gunung berapi untuk pengolahan citra:
Deteksi Anomali: Deep learning, khususnya Convolutional Neural Networks (CNN), dapat digunakan untuk mendeteksi anomali pada citra satelit yang menunjukkan perubahan suhu permukaan, pola awan panas, atau perubahan topografi yang dapat mengindikasikan aktivitas vulkanik yang meningkat.
Segmentasi Citra: Deep learning dapat digunakan untuk segmentasi citra guna memisahkan berbagai fitur penting seperti kawah gunung berapi, aliran lava, dan material vulkanik lainnya dari lanskap sekitarnya. Hal ini memungkinkan identifikasi yang lebih akurat terhadap area yang terpengaruh oleh letusan gunung berapi.
Klasifikasi: Model-model deep learning dapat dilatih untuk mengklasifikasikan citra-citra satelit menjadi kategori-kategori yang relevan, seperti daerah yang terkena dampak letusan, daerah rawan lahar, atau daerah yang perlu dievakuasi. Hal ini memungkinkan penyusunan rencana mitigasi yang lebih tepat dan efisien.
Prediksi Letusan: Deep learning dapat digunakan untuk menganalisis pola-pola pada citra satelit yang mengindikasikan kemungkinan letusan gunung berapi di masa mendatang. Model-model deep learning dapat memprediksi potensi letusan berdasarkan pola-pola historis dan faktor-faktor lingkungan lainnya.
Analisis Evakuasi: Deep learning dapat membantu dalam menganalisis citra-citra satelit untuk mengevaluasi efektivitas rute evakuasi dan lokasi penampungan bagi masyarakat yang terkena dampak letusan. Hal ini memungkinkan penyelenggaraan evakuasi yang lebih efisien dan responsif.
Dengan memanfaatkan kemampuan deep learning dalam memproses dan menganalisis citra satelit secara otomatis, mitigasi bencana alam gunung berapi dapat menjadi lebih efektif dan dapat memberikan informasi yang lebih tepat waktu kepada pihak yang berwenang dalam mengambil keputusan yang kritis dalam situasi darurat.
Semoga bermanfaat!